Rabu, 29 Juli 2015

Resensi buku: Wajah Agama di Media




 Judul buku : Wajah Agama di Media
Editor : Hanif Suranto dan P. Bambang Wisudo
Tahun buku : 2010
Penerbit : LSPP
Tebal buku: Iiv + 145 hlm

Buku ini merupakan kumpulan karya para jurnalis yang mengikuti pelatihan “Peliputan Agama yang Berperspektif Pluralisme”, sebagai bagian dari upaya media menjawab tantangan bagaimana mereprentasikan agama dalam media yang toleran dan damai. Dalam kalimat pengantar dalam buku ini disebutkan bahwa kecenderungan media dalam liputan keagamaan, antara lain: pertama, liputan agama umumnya masih fokus pada kegiatan ritual dan perayaan keagamaan, institusi keagamaan. Kedua, cenderung fokus pada pada peristiwa konflik Liputan keagamaan biasanya sangat sensasional atau penuh dramatisasi. Ketiga, media masih sering melakukan labelisasi terhadap kelompok agama atau aliran tertentu. Keempat, media kurang memberikan tempat pada kelompok-kelompok minoritas kalaupun memberikan tempat, maka itu adalah kelompok minoritas ekslusif yang cenderung menyebarkan kebencian dan kekerasan dan tindakan lainnya yang mampu menarik perhatian media Karena dianggap mempunyai nilai berita.

Media menghindari peliputan agama secara mendalam karena dipandang sensitive dan berisiko. Miskinnya kedalaman dalam peliputan agama antara lain karena umumnya media cenderung memarjinalkan liputan agama dan tidak memberikan dukungan pengembangan profesionalisme jurnalis dalam peliputan agama.  Sehingga banyak jurnalis yang kurang memiliki pemahaman dan keterampilan khususnya dalam peliputan agama.

Seharusnya sebagai seorang jurnalis wajib memiliki nilai etis ketika menyampaikan fakta melalui medianya. Fakta jurnalistik tidak hadir dengan sendirinya di hadapan jurnalis. Menurut Idy Subandy: Fakta jurnalistik hadir lewat intervensi jurnalis dalam memilih peristiwa, memilih narasumber, memilih pertanyaan yang diajukan, memilih kalimat yang dikutip, memilih halaman mana yang akan diisi berita dan seterusnya.

Berdasarkan sebuah studi yang dilakukan pada jaringan televisi di Amerika. Dari 18.000 berita yang ditayangkan pada berita malam jaringan televisi tahun 1993, hanya 212 berkaitan dengan agama. Islam hanya mendapat 5 berita, yahudi 3 berita.

Dalam buku ini juga disebutkan bahwa hubungan media dan agama, pada level tertentu ditentukan oleh kenyataan bahwa kini media merupakan konteks dimana hubungan social dan kultural berlangsung dan representasi dibuat. Dalam pandangan yang berbeda disebutkan bahwa media sebagai sejenis cermin budaya atau forum budaya melalui mana relasi-relasi penting dalam budaya ditayangkan, diperdebatkan, diartikulasikan, dan dinegosiasikan. Pandangan ini berbeda dengan pandangan paradigma dominan dalam teori media yang menekankan mengenai efek media, ketimbang hubungannya dengan, atau tertanam dalam budaya. Realitas kenyataan bahwa masyarakat Indonesia hidup dalam kemajemukan namun fakta social yang terjadi masih saja lebih memilih dan bahkan memaksa untuk seragam ketimbang menjadi beragam.

Karya para jurnalis yang telah mengikuti pelatihan ini berupaya membingkai beritanya dalam perspektif pluralisme, baik dari segi pemilihan isu/topic, sudut pandang, maupun sumber beritanya. Terdapat 11 tulisan dalam buku ini. Beberapa yang menarik menurut saya, antara lain:
1.      Agamaku Noaulu.
Pada tulisan ini jurnalis mencoba mengangkat cerita tentang suku Noaulu di Pulau Seram, Maluku. Suku Noaulu tetap menjalankan keyakinannya sampai dengan saat ini.  Namun, karena agama, orang Noaulu mengalami diskriminasi dari hal pendidikan agama di sekolah, pencatatan kependudukan, pencatatan pernikahan, pencatatan kelahiran yang mewajibkan mereka untuk memilih salah satu agama yang sudah diakui oleh Negara ini. Untuk dapat menembus birokrasi administrasi, sebagai strategi, sebagian orang Noaulu memakai agama Hindu dan sebagian lagi memakai animism. Kendati keyakinan dan tata cara peribadatan berbeda sama sekali.
Padahal secara konstitusi, negara menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Sehingga Negara seharusnya bersikap adil pada semua penganut agama dan kepercayaan yang hidup di Negara ini.

2.      An-Nadzir Membangun Kemandirian dari Mawang
Komunitas An-Nadzir diterima baik di daerah tersebut karena dianggap telah merubah daerah tempat tinggal mereka saat ini menjadi daerah yang aman dan produktif. Hal lain yang membedakan komunitas An-Nadzir dari Mawang dengan daerah lain tidak lepas dari Tokoh Rangka yang merupakan putera asli Mawang yang menghibahkan tanahnya untuk mereka tinggali, sehingga komunitas ini dapat bertahan dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar.  Untuk  mendapatkan kehidupan yang mandiri, mereka mengembangkan usaha di bidang pertanian, peternakan, dan perikanan.
Berkembang dan diterima berbagai aliran agama di Sulawesi Selatan tidak lepas dari budaya Bugis-Makassar, menurut Ketua Forum Beragama Sulsel ini mengatakan selama sesuatu yang berbeda itu tidak menjadi ancaman maka tidak akan terjadi perlawanan atau resistensi. Toleransi adalah membiarkan perbedaan dan menghargainya.

3.      Islam yang Berintegrasi dengan Adat Istiadat Wamena
Bakar batu merupakan tradisi memasak bahan makanan di Wamena. Bahan makanan yang biasa digunakan daging babi, umbi-umbian, dan sayuran. Namun dalam bakar batu kali ini daging babi digantikan dengan daging ayam. Dalam acara yang diadakan oleh warga muslim Wamena tidak hanya mengundang sesama muslim namun juga menggundang warga lainnya. Mereka saling bergotong royong dan sebagai wadah untuk saling mengenal satu dengan yang lain. Warga muslim di Wamena tetap bisa mempertahankan tradisinya dengan agama baru yang mereka anut. Meski mereka adalah warga asli papua yang beragama islam tetapi mereka tidak mengalami diskriminasi. Karena sebagian dari mereka merupakan keluarga sendiri namun menganut agama lain seperti halnya Katolik.

Dalam buku ini memberikan saya wacana baru terhadap kehidupan beragama warga muslim minoritas yang ada di beberapa daerah di Negara ini. Seharusnya Negara dapat menjalankan melindungi hak warga negaranya seperti yang diamatkan dalam UUD ’45. Dan masyarakat pun diharapkan dapat lebih bijak dapat menyikapi keberagaman di lingkungannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar