Judul buku : Wajah Agama
di Media
Editor : Hanif Suranto dan P.
Bambang Wisudo
Tahun buku : 2010
Penerbit : LSPP
Tebal buku: Iiv + 145 hlm
Buku
ini merupakan kumpulan karya para jurnalis yang mengikuti pelatihan “Peliputan
Agama yang Berperspektif Pluralisme”, sebagai bagian dari upaya media menjawab tantangan bagaimana
mereprentasikan agama dalam media yang toleran dan damai. Dalam kalimat pengantar
dalam buku ini disebutkan bahwa kecenderungan media dalam liputan keagamaan,
antara lain: pertama, liputan agama
umumnya masih fokus pada kegiatan ritual dan perayaan keagamaan, institusi
keagamaan. Kedua, cenderung fokus
pada pada peristiwa konflik Liputan keagamaan biasanya sangat sensasional atau
penuh dramatisasi. Ketiga, media
masih sering melakukan labelisasi terhadap kelompok agama atau aliran tertentu.
Keempat, media kurang memberikan
tempat pada kelompok-kelompok minoritas kalaupun memberikan tempat, maka itu
adalah kelompok minoritas ekslusif yang cenderung menyebarkan kebencian dan
kekerasan dan tindakan lainnya yang mampu menarik perhatian media Karena
dianggap mempunyai nilai berita.
Media
menghindari peliputan agama secara mendalam karena dipandang sensitive dan
berisiko. Miskinnya kedalaman dalam peliputan agama antara lain karena umumnya
media cenderung memarjinalkan liputan agama dan tidak memberikan dukungan
pengembangan profesionalisme jurnalis dalam peliputan agama. Sehingga banyak jurnalis yang kurang memiliki
pemahaman dan keterampilan khususnya dalam peliputan agama.
Seharusnya
sebagai seorang jurnalis wajib memiliki nilai etis ketika menyampaikan fakta
melalui medianya. Fakta jurnalistik tidak hadir dengan sendirinya di hadapan
jurnalis. Menurut Idy Subandy: Fakta jurnalistik hadir lewat intervensi
jurnalis dalam memilih peristiwa, memilih narasumber, memilih pertanyaan yang
diajukan, memilih kalimat yang dikutip, memilih halaman mana yang akan diisi
berita dan seterusnya.
Berdasarkan
sebuah studi yang dilakukan pada jaringan televisi di Amerika. Dari 18.000
berita yang ditayangkan pada berita malam jaringan televisi tahun 1993, hanya
212 berkaitan dengan agama. Islam hanya mendapat 5 berita, yahudi 3 berita.
Dalam
buku ini juga disebutkan bahwa hubungan media dan agama, pada level tertentu
ditentukan oleh kenyataan bahwa kini media merupakan konteks dimana hubungan
social dan kultural berlangsung dan representasi dibuat. Dalam pandangan yang
berbeda disebutkan bahwa media sebagai sejenis cermin budaya atau forum budaya
melalui mana relasi-relasi penting dalam budaya ditayangkan, diperdebatkan,
diartikulasikan, dan dinegosiasikan. Pandangan ini berbeda dengan pandangan
paradigma dominan dalam teori media yang menekankan mengenai efek media,
ketimbang hubungannya dengan, atau tertanam dalam budaya. Realitas kenyataan
bahwa masyarakat Indonesia hidup dalam kemajemukan namun fakta social yang
terjadi masih saja lebih memilih dan bahkan memaksa untuk seragam ketimbang
menjadi beragam.
Karya
para jurnalis yang telah mengikuti pelatihan ini berupaya membingkai beritanya
dalam perspektif pluralisme, baik dari segi pemilihan isu/topic, sudut pandang,
maupun sumber beritanya. Terdapat 11 tulisan dalam buku ini. Beberapa yang menarik
menurut saya, antara lain:
1.
Agamaku Noaulu.
Pada tulisan ini
jurnalis mencoba mengangkat cerita tentang suku Noaulu di Pulau Seram, Maluku.
Suku Noaulu tetap menjalankan keyakinannya sampai dengan saat ini. Namun, karena agama, orang Noaulu mengalami diskriminasi
dari hal pendidikan agama di sekolah, pencatatan kependudukan, pencatatan
pernikahan, pencatatan kelahiran yang mewajibkan mereka untuk memilih salah
satu agama yang sudah diakui oleh Negara ini. Untuk dapat menembus birokrasi
administrasi, sebagai strategi, sebagian orang Noaulu memakai agama Hindu dan
sebagian lagi memakai animism. Kendati keyakinan dan tata cara peribadatan
berbeda sama sekali.
Padahal secara
konstitusi, negara menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Sehingga Negara
seharusnya bersikap adil pada semua penganut agama dan kepercayaan yang hidup
di Negara ini.
2.
An-Nadzir Membangun
Kemandirian dari Mawang
Komunitas An-Nadzir
diterima baik di daerah tersebut karena dianggap telah merubah daerah tempat
tinggal mereka saat ini menjadi daerah yang aman dan produktif. Hal lain yang
membedakan komunitas An-Nadzir dari Mawang dengan daerah lain tidak lepas dari
Tokoh Rangka yang merupakan putera asli Mawang yang menghibahkan tanahnya untuk mereka tinggali, sehingga
komunitas ini dapat bertahan dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Untuk mendapatkan kehidupan yang mandiri,
mereka mengembangkan usaha di bidang pertanian, peternakan, dan perikanan.
Berkembang dan
diterima berbagai aliran agama di Sulawesi Selatan tidak lepas dari budaya
Bugis-Makassar, menurut Ketua Forum Beragama Sulsel ini mengatakan selama
sesuatu yang berbeda itu tidak menjadi ancaman maka tidak akan terjadi
perlawanan atau resistensi. Toleransi adalah membiarkan perbedaan dan
menghargainya.
3.
Islam yang Berintegrasi
dengan Adat Istiadat Wamena
Bakar batu merupakan
tradisi memasak bahan makanan di Wamena. Bahan makanan yang biasa digunakan
daging babi, umbi-umbian, dan sayuran. Namun dalam bakar batu kali ini daging
babi digantikan dengan daging ayam. Dalam acara yang diadakan oleh warga muslim
Wamena tidak hanya mengundang sesama muslim namun juga menggundang warga lainnya.
Mereka saling bergotong royong dan sebagai wadah untuk saling mengenal satu
dengan yang lain. Warga muslim di Wamena tetap bisa mempertahankan tradisinya
dengan agama baru yang mereka anut. Meski mereka adalah warga asli papua yang
beragama islam tetapi mereka tidak mengalami diskriminasi. Karena sebagian dari mereka
merupakan keluarga sendiri namun menganut agama lain seperti halnya Katolik.
Dalam buku ini
memberikan saya wacana baru terhadap kehidupan beragama warga muslim minoritas
yang ada di beberapa daerah di Negara ini. Seharusnya Negara dapat menjalankan melindungi hak warga negaranya seperti
yang diamatkan dalam UUD ’45. Dan masyarakat pun diharapkan dapat lebih bijak
dapat menyikapi keberagaman di lingkungannya.