Jumat, 27 November 2015

Resensi Buku: Soegija 100% Indonesia



Jakarta, 27 November 2015

Judul buku : Soegija 100% Indonesia
Penulis : Ayu Utami
Tahun buku : 2012
Penerbit : KPG
Tebal buku: vii+143 hlm

Buku Soegija 100% Indonesia ini bercerita tentang Uskup Agung Soegijapranata, SJ. Pembabakan dalam buku berdasarkan peristiwa-peristiwa penting dalam perjalanan hidup Soegijapranata.

Soegija lahir di Solo tahun 1896. Ayahnya, Karijosoedarmo, adalah seorang abdi dalem keraton surakarta. Ia bukan dari keluarga Katolik dan bukan beragama Katolik. Namun, pertemuannya dengan Romo Van Lith mengantarkan Soegija melihat kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang bagus, menyamai pendidikan Belanda, dan terbuka untuk anak pribumi. Soegija ingin maju. Untuk tidak kalah dengan kaum penjajah, ia harus maju seperti mereka. Maka Soegija pun bersekolah di Kolase Xaverius yang dipimpin oleh Romo Van Lith. Bahwa melalui pendidikan merupakan satu-satunya cara untuk membangun kehidupan yang baik.

Dalam buku ini dituturkan bahwa Soegija kecil merupakan anak yang cerdas, suka membantah, penuh daya kritis, dan pertanyaan. Setelah satu tahun menjalani pendidikan di Kolase Xaverius, tahun 1910, Soegija dibaptis dengan nama baptis Albertus. Hal ini tentu tidak mudah bagi orang tuanya untuk menerima perpindahan iman putranya.  Bagi orang Jawa semua agama itu bagus asal dijalankan dengan betul dan membuat manusia menjadi baik. Hal ini menunjukkan kerendahan hati bahwa kita tidak bisa memaksakan kebenaran yang kita imani kepada orang lain. Kesadaran bahwa ia datang dari masyarakat dengan spiritual tinggi itu membuat Soegija tidak minder menghadapi gejera Katolik yang sangat berbudaya Eropa.

Bab selanjutnya dalam kehidupan Soegija adalah tahun dimana dia menjalani pendidikan teologi dan novisiat di Belanda pada tahun 1919 sampai dengan 1926. Pendidikan untuk menjadi seorang imam katolik berjenjang-jenjang. Ia harus belajar banyak hal, mulai dari belajar bahasa, teologi, filsafat, memperdalam panggilan iman, dan ia juga harus membiasakan diri dengan aturan ordo di mana mereka mau dan diterima untuk bergabung. Setelah menyelesaikan pendidikannya di  tahun 1926, Soegija pun kembali ke Muntilan sebagai frater dan guru di Kolase Xaverius. Di tahun kedua pengabdiannya, Soegija memutuskan untuk kembali melanjutkan pendidikan filsafat di Belanda.

Pertemuan Soegija dengan Paus Pius XI di tahun 1929 membawa pengaruh baginya. Bahwa gereja adalah bertubuh. Dalam tubuh itu, mau tidak mau, terlibat dalam dunia. Terlibat juga dalam tindakan politik. Bahwa seorang imam wajib berdiplomasi dan bernegosiasi untuk mempertahankan sesuatu yang baik dan tidak ada ras yang lebih unggul daripada ras yang lain.

Dengan pengalaman, pendidikan serta bimbingan dari guru-guru yang dikasihinya, Soegija pun menjadi pribadi yang matang dan mandiri. Pada tahun 1933, ia ditugaskan untuk memimpin Paroki di Bintaran. Ia yang seorang pastor Jawa dibantu oleh Pater A de Kuijper yang notabene seorang Belanda untuk mengelola paroki tersebut. Dalam penunjukan seseorang untuk menjadi pastor atau imam dalam hierarki gereja Katolik tidak berdasarkan kehebatan bangsa tertentu. Sebuah paroki pribumi selayaknya dipimpin oleh bumiputera pula, yang diandaikan dapat memahami umat dengan sebaik-baiknya. Di paroki itu pastor Soegija tidak saja menjalankan tugasnya sebagai pastor paroki, atapi ia juga terlibat sebagai kepala redaktur Swaratama, majalah berbahasa jawa dalam lingkungan Katolik yang membahas masalah publik, serta penasihat pada komisi pelayanan misi Serikat Yesus.

Tujuh tahun setelah memimpin Paroki Bintaran, tepatnya di tahun 1940, Soegija ditunjuk oleh Vatikan untuk menjadi uskup di Vikariat Apostolik Semarang. Sebelumnya Keuskupan Hindia meliputi Batavia, Bogor, Semarang, Jogjakarta, dan daerah sekitarnya. Seiring perjalanan waktu gereja Katolik di Jawa Tengah memiliki banyak umat dari kalangan kaum pribumi dengan prosentase melebihi jumlah orang Katolik di Eropa. Bahkan, beberapa pemuda Jawa yang telah lulus pendidikan iman, kini telah ditasbihkan menjadi pastor. Orang jawa kini telah mulai melayani masyarakatnya sendiri. Karena hal inilah Monsiyur Willekens menulis surat ke Roma berupa surat permohonan kepada Roma agar Jawa Tengah dipisahkan dari Batavia dan berdiri menjadi Vikariat Apostolik sendiri dengan uskupnya sendiri. Sebuah keuskupan dengan pusat pemerintahan di Semarang.

Pada saat pendudukan bangsa Jepang di tahun 1942, gereja-gereja direbut paksa, para rohaniawan ditangkap, serta para suster diwajibkan untuk mengikuti wajib militer. Politik jepang saat itu adalah menghapus semua pengaruh barat di tanah jajahannya termasuk agama kristen. Soegija sebagai seorang imam yang harus melindungi umat sembari merawat iman berusaha melakukan negosiasi dengan penguasa Jepang. Seiring dengan berjalannya waktu, secara perlahan berkembang juga rasa percaya antara para opsir jepang dan Soegija.

Ketegangan terjadi lagi ketika Jepang menyerah tanpa syarat setelah AS mengebom Hiroshima dan Nagasaki. Di Semarang sendiri, pada masa itu pasukan jepang tak mau dilucuti karena perintah dari atasan mereka adalah menyerah kepada sekutu, bukan kepada pribumi. Pertempuran tanpa henti dalam beberapa hari antara pihak indonesia melawan militer jepang terus terjadi. Melihat keadaan ini Uskup Soegija menggunakan posisinya untuk mengusahakan gencatan senjata. Demi alasan kemanusiaan, Ia bernegosiasi dengan para perwira inggris dan jepang, dan kepada wartawan dan perwakilan asing yang datang ke Indonesia. Hari itu setelah perundingan yang sangat sengit, perintah gencatan senjata pun dikeluarkan. Peristiwa itu dikenang sebagai pertempuran lima hari di semarang.

Uskup Soegija menutup usai pada tahun 1963, saat hendak memenuhi undangan dari Sri Paus untuk menghadiri Konsili Vatikan II. Perjuangan yang dilakukan Soegija tidaklah dengan menggunakan senjata. Ia menggunakan posisi dan kedudukannya untuk menjaga umat sembari terus merawat iman.