Jakarta, 02 Jan 2016
Judul buku : Media dan Konflik Ambon
Penulis : Eriyanto
Tahun buku : 2003
Penerbit : PT Sembrani Akrasa Nusantara
Tebal buku: xi + 190 hlm
Buku Media dan Konflik Ambon ini berdasarkan penelitian
mengenai konflik dengan berlatar agama yang terjadi antara tahun 1999 – 2002.
Media yang seharusnya bisa memainkan peran dengan bersikap netral dan dapat
menyajikan informasi akurat dan informatif namun pada konflik Ambon ini hal
tersebut tidak berlaku.
Dalam buku ini tersaji bagaimana peranan media terutama
koran dan radio di Ambon selama kurang lebih empat tahun dalam meliput dan
“memanaskan” berita. Meminjam kata seorang jurnalis Bosnia, “Para jurnalis yang
sembunyi di balik pena atau mikropon, untuk menganjurkan perang, sesungguhnya
lebih jahat dari orang-orang yang saling bunuh itu sendiri.” Berbagai peristiwa
kerusuhan yang terjadi pada masa konflik seringkali dilihat sebagai akibat dari
pemberitaan.
Ambon memiliki luas
337 km2. Semasa konflik yang melibatkan komunitas Islam dan Kristen,
tidak hanya menelan korban jiwa separuh dari jumlah populasi penduduk yang kala
itu mendiami Ambon, namun juga menyebabkan kerusakan baik di pemukiman
penduduk, dunia pendidikan serta ratusan ribu orang yang terpaksa mengungsi. Konflik
tersebut menghancurkan ikatan persaudaraan yang selama ini terbangun. Selama
konflik, warga Islam dan warga Kristen menempati wilayah yang berbeda, angkutan
kota yang berbeda, pasar berbeda, rumah makan berbeda. Kehidupan secara tegas dipisahkan
oleh garis agama.
Dengan menggunakan metode deskriptif analistis, para
peneliti menggumpulkan data lewat tiga mekanisme yakni dengan melakukan
wawancara secara mendalam dengan narasumber, observasi lapangan meliputi daerah
Jakarta, Surabaya, Ambon dan Makassar, serta analisis isi untuk melihat
bagaimana media di Ambon menggambarkan kerusuhan Ambon.
Buku ini menjelaskan bahwa akar konflik lahirnya
segregasi berdasar agama bisa dibilang dimulai pada saat penjajah menginjakkan
kakinya di Maluku. Hampir seluruh daerah Maluku bagian Utara mayoritas beragama
Islam sehingga Belanda dengan misionaris Kristen tidak punya pilihan dengan
menanamkan pengaruhnya di Maluku bagian Selatan. Kecenderungan warga untuk
mendiami suatu wilayah berdasarkan agama terus berlangsung selama puluhan
tahun. Desa Islam bisa hidup berdampingan dengan desa Kristen. Tidak jarang
dijumpai, bangunan gereja bersebelahan dengan bangunan masjid. Namun sejak
akhir 1980-an, segregasi teritorial berdasar agama itu menjadi masalah terutama
di Ambon dikarenakan tiga hal, yaitu: perubahan komposisi penduduk, perubahan
pelapisan sosial, dan perubahan budaya. Semua kondisi tersebut bertumpuk
menjadi satu, berbaur menjadi isu soal sentimen etnis dan agama. Hal ini makin
diperparah dengan krisis ekonomi tahun 1998.
Saat konflik meletus awal tahun 1999, media lokal pada
saat itu: RRI, TVRI, dan Suara Maluku. Orang banyak berharap pada media
tersebut dapat menyuarakan informasi yang berimbang dari kedua belah pihak. Namun
karena masalah teknis wilayah, keamanan dan mekanisme kerja serta tekanan warga
menyebabkan media ikut terlibat dan mendukung pihak tertentu yang terlibat
dalam konflik.
Terbitnya dua media untuk dua komunitas agama yang
berbeda pada Juli 1999, menandai terpecahnya segregasi masyarakat Ambon secara
keseluruhan. Berita dari dua sisi sulit diperoleh. Pada saat itu ada tiga
sumber informasi walaupun lemah dan tidak akomodatif namun tetap digunakan
yakni Pertama, aparat kepolisian atau pemerintah. Kedua, posko informasi baik
di komunitas Kristen maupun komunitas Islam. Ketiga, dari sesama teman
wartawan.
Dari tahun 1999-2002, di Ambon tercatat ada 10 koran yang
pernah terbit dan 10 radio mengudara. Banyaknya media ini diikuti dengan
persaingan yang tajam. Meski tidak dimaksudkan sebagai corong salah satu
komunitas agama tertentu, tetapi homogenitas itu sukar ditampik.
Pada buku ini juga dijelaskan tentang bagaimana kasus
Suara Maluku dan Ambon Ekspres bisa terjadi, seperti apa potret dan basis
ekonomi media di Ambon, serta bagaimana pemberitaan media baik koran maupun
radio dalam melakukan perang informasi sepanjang tahun 1999-2002.
Konflik di Ambon menapaki sejarah baru setelah diadakan
perundingan antara kedua kelompok yang bertikai di Malino pada Februari 2002.
Salah satu poin penting pada perjanjian tersebut, antara lain penghentian
kekerasan, pengembalian para pengungsi ke tempat semula, dan penegakan hukum.
Berita pada media di Ambon pun mengalami perubahan orientasi pemberitaan. Bila
pemberitaan selama konflik cenderung provokatif, tanpa cek ke lapangan, dan
tanpa konfirmasi kepada pihak lain. Namun pasca perjanjian Malino, pemberitaan
tampak lebih berhati-hati serta adanya perubahan kebijakan redaksi media di
Ambon. Dalam situasi yang sudah berubah ini, siapa yang bisa menyajikan berita
yang baik, akan bisa menarik pembaca lebih banyak.
Hasil penelitian dalam buku ini memberikan kesadaran
mengenai peran media dalam suatu konflik. Media bisa menjadi instrumen yang
membenarkan penyerangan dan pembunuhan. Media bisa tanpa sadar menjelekkan
etnis dan agama lain untuk kemenangan kelompok sendiri.