Jumat, 27 November 2015

Resensi Buku: Soegija 100% Indonesia



Jakarta, 27 November 2015

Judul buku : Soegija 100% Indonesia
Penulis : Ayu Utami
Tahun buku : 2012
Penerbit : KPG
Tebal buku: vii+143 hlm

Buku Soegija 100% Indonesia ini bercerita tentang Uskup Agung Soegijapranata, SJ. Pembabakan dalam buku berdasarkan peristiwa-peristiwa penting dalam perjalanan hidup Soegijapranata.

Soegija lahir di Solo tahun 1896. Ayahnya, Karijosoedarmo, adalah seorang abdi dalem keraton surakarta. Ia bukan dari keluarga Katolik dan bukan beragama Katolik. Namun, pertemuannya dengan Romo Van Lith mengantarkan Soegija melihat kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang bagus, menyamai pendidikan Belanda, dan terbuka untuk anak pribumi. Soegija ingin maju. Untuk tidak kalah dengan kaum penjajah, ia harus maju seperti mereka. Maka Soegija pun bersekolah di Kolase Xaverius yang dipimpin oleh Romo Van Lith. Bahwa melalui pendidikan merupakan satu-satunya cara untuk membangun kehidupan yang baik.

Dalam buku ini dituturkan bahwa Soegija kecil merupakan anak yang cerdas, suka membantah, penuh daya kritis, dan pertanyaan. Setelah satu tahun menjalani pendidikan di Kolase Xaverius, tahun 1910, Soegija dibaptis dengan nama baptis Albertus. Hal ini tentu tidak mudah bagi orang tuanya untuk menerima perpindahan iman putranya.  Bagi orang Jawa semua agama itu bagus asal dijalankan dengan betul dan membuat manusia menjadi baik. Hal ini menunjukkan kerendahan hati bahwa kita tidak bisa memaksakan kebenaran yang kita imani kepada orang lain. Kesadaran bahwa ia datang dari masyarakat dengan spiritual tinggi itu membuat Soegija tidak minder menghadapi gejera Katolik yang sangat berbudaya Eropa.

Bab selanjutnya dalam kehidupan Soegija adalah tahun dimana dia menjalani pendidikan teologi dan novisiat di Belanda pada tahun 1919 sampai dengan 1926. Pendidikan untuk menjadi seorang imam katolik berjenjang-jenjang. Ia harus belajar banyak hal, mulai dari belajar bahasa, teologi, filsafat, memperdalam panggilan iman, dan ia juga harus membiasakan diri dengan aturan ordo di mana mereka mau dan diterima untuk bergabung. Setelah menyelesaikan pendidikannya di  tahun 1926, Soegija pun kembali ke Muntilan sebagai frater dan guru di Kolase Xaverius. Di tahun kedua pengabdiannya, Soegija memutuskan untuk kembali melanjutkan pendidikan filsafat di Belanda.

Pertemuan Soegija dengan Paus Pius XI di tahun 1929 membawa pengaruh baginya. Bahwa gereja adalah bertubuh. Dalam tubuh itu, mau tidak mau, terlibat dalam dunia. Terlibat juga dalam tindakan politik. Bahwa seorang imam wajib berdiplomasi dan bernegosiasi untuk mempertahankan sesuatu yang baik dan tidak ada ras yang lebih unggul daripada ras yang lain.

Dengan pengalaman, pendidikan serta bimbingan dari guru-guru yang dikasihinya, Soegija pun menjadi pribadi yang matang dan mandiri. Pada tahun 1933, ia ditugaskan untuk memimpin Paroki di Bintaran. Ia yang seorang pastor Jawa dibantu oleh Pater A de Kuijper yang notabene seorang Belanda untuk mengelola paroki tersebut. Dalam penunjukan seseorang untuk menjadi pastor atau imam dalam hierarki gereja Katolik tidak berdasarkan kehebatan bangsa tertentu. Sebuah paroki pribumi selayaknya dipimpin oleh bumiputera pula, yang diandaikan dapat memahami umat dengan sebaik-baiknya. Di paroki itu pastor Soegija tidak saja menjalankan tugasnya sebagai pastor paroki, atapi ia juga terlibat sebagai kepala redaktur Swaratama, majalah berbahasa jawa dalam lingkungan Katolik yang membahas masalah publik, serta penasihat pada komisi pelayanan misi Serikat Yesus.

Tujuh tahun setelah memimpin Paroki Bintaran, tepatnya di tahun 1940, Soegija ditunjuk oleh Vatikan untuk menjadi uskup di Vikariat Apostolik Semarang. Sebelumnya Keuskupan Hindia meliputi Batavia, Bogor, Semarang, Jogjakarta, dan daerah sekitarnya. Seiring perjalanan waktu gereja Katolik di Jawa Tengah memiliki banyak umat dari kalangan kaum pribumi dengan prosentase melebihi jumlah orang Katolik di Eropa. Bahkan, beberapa pemuda Jawa yang telah lulus pendidikan iman, kini telah ditasbihkan menjadi pastor. Orang jawa kini telah mulai melayani masyarakatnya sendiri. Karena hal inilah Monsiyur Willekens menulis surat ke Roma berupa surat permohonan kepada Roma agar Jawa Tengah dipisahkan dari Batavia dan berdiri menjadi Vikariat Apostolik sendiri dengan uskupnya sendiri. Sebuah keuskupan dengan pusat pemerintahan di Semarang.

Pada saat pendudukan bangsa Jepang di tahun 1942, gereja-gereja direbut paksa, para rohaniawan ditangkap, serta para suster diwajibkan untuk mengikuti wajib militer. Politik jepang saat itu adalah menghapus semua pengaruh barat di tanah jajahannya termasuk agama kristen. Soegija sebagai seorang imam yang harus melindungi umat sembari merawat iman berusaha melakukan negosiasi dengan penguasa Jepang. Seiring dengan berjalannya waktu, secara perlahan berkembang juga rasa percaya antara para opsir jepang dan Soegija.

Ketegangan terjadi lagi ketika Jepang menyerah tanpa syarat setelah AS mengebom Hiroshima dan Nagasaki. Di Semarang sendiri, pada masa itu pasukan jepang tak mau dilucuti karena perintah dari atasan mereka adalah menyerah kepada sekutu, bukan kepada pribumi. Pertempuran tanpa henti dalam beberapa hari antara pihak indonesia melawan militer jepang terus terjadi. Melihat keadaan ini Uskup Soegija menggunakan posisinya untuk mengusahakan gencatan senjata. Demi alasan kemanusiaan, Ia bernegosiasi dengan para perwira inggris dan jepang, dan kepada wartawan dan perwakilan asing yang datang ke Indonesia. Hari itu setelah perundingan yang sangat sengit, perintah gencatan senjata pun dikeluarkan. Peristiwa itu dikenang sebagai pertempuran lima hari di semarang.

Uskup Soegija menutup usai pada tahun 1963, saat hendak memenuhi undangan dari Sri Paus untuk menghadiri Konsili Vatikan II. Perjuangan yang dilakukan Soegija tidaklah dengan menggunakan senjata. Ia menggunakan posisi dan kedudukannya untuk menjaga umat sembari terus merawat iman. 

Rabu, 29 Juli 2015

Brintik



Hup, ia melompat dari ketinggian  80 cm. Ia bebas melompat, berlari ke sana kemari.  “ hore bebas”, kata Dolly,  “ayo Brin lompat”. Sambil memandang ke arah ia tadi melompat. Terlihat sosok Brin yang menjulur-julurkan kepalanya ke bawah, “ Abang, gimana nih, tinggi banget”. Dolly, “ayo cepet lompat ga apa apa kok, ga usah takut,  ayo kita main mumpung pintu kandangnya lagi di buka". Brin kembali memberanikan diri untuk bersiap melompat, “huah, abang ga bisa nih. Aku kan juga mau main. Bagaimana dong?”. Dolly tidak mendengar perkataan brin karena dia sibuk menggali lubang di sekitar pohon mangga. 

Pohon mangga sudah berusia 20 tahun, tidak lagi berbuah, daunnya mulai meranggas dan ditumpangi benalu, kulit pohonnya mulai retak karena termakan usia. Disekitar akar pohon tua tsb terlihat gundukan sarang semut merah. Dolly tidak merasa takut pada semut-semut merah itu, dia mulai menggali terus menggali dengan kedua kaki depannya.  Nyam-nyam-nyam, mulutnya mulai terlihat mengunyah akar-akar kecil pohon mangga tsb. “Abang, dimana kamu”, kata Brin. Brin masih belum melompat keluar, sesekali ia melongo ke bawah “ seram, knapa tinggi banget sih” lanjut Brin. Sang empu yang sengaja melintas untuk melihat apakah kedua peliharaannya tsb sudah keluar kandang apa belum menemukan bahwa Brin masih berada dalam kandangnya. “Oh, kamu ga berani melompat ya” ujar sang empu. Hup, lantas ia pun mengangkat tubuh Brin kemudian menurunkannya di tanah. “Sana main” ujar sang empu. Brin, senang sekali akhirnya dia bisa main di tanah. Berlari, melompat, selonjoran, menggali lubang, menggoda kucing tetangga yang kadang mampir tidur di teras rumah. Hup, hup hup, dia melompat kegirangan. Kemudian Brin melihat sosok Dolly. “Abang, lagi apa?”, kata Brin...sruk, sruk, “ ayo sini bantuin, akar ini enak loh, mau?”. Segera ia menghampirinya. Mereka berdua lalu sibuk menggali dan menggali. Lelah menggali mereka, mereka bersantai di bawah kandang. Tinggi kaki kandang sekitar 20 cm dari tanah, sehingga memungkinkan mereka beristirahat dibawahnya.
  
Angin datang seolah meniup bulu-bulu lembut mereka. ”ah,  Ademnya”, kata Brin.  Tak terasa hari telah sore. sang empu datang menghampiri tempat mereka beristirahat, serta mencoba menangkap mereka. “Ih, apain sih kami kan masih mau maen” kata Brin. Keduanya lantas melompat dan berlari menghindari tangan-tangan yang berusaha menangkap. “tertangkap kalian, ayo masuk ke kandang, sudah sore", gumam sang empu.  Tak lama kemudian terdengar suara Krauk, krauk dari kangkung  yang sedang dikunyah Brin dan Dolly sebagai menu makan sore itu.


Resensi buku: Wajah Agama di Media




 Judul buku : Wajah Agama di Media
Editor : Hanif Suranto dan P. Bambang Wisudo
Tahun buku : 2010
Penerbit : LSPP
Tebal buku: Iiv + 145 hlm

Buku ini merupakan kumpulan karya para jurnalis yang mengikuti pelatihan “Peliputan Agama yang Berperspektif Pluralisme”, sebagai bagian dari upaya media menjawab tantangan bagaimana mereprentasikan agama dalam media yang toleran dan damai. Dalam kalimat pengantar dalam buku ini disebutkan bahwa kecenderungan media dalam liputan keagamaan, antara lain: pertama, liputan agama umumnya masih fokus pada kegiatan ritual dan perayaan keagamaan, institusi keagamaan. Kedua, cenderung fokus pada pada peristiwa konflik Liputan keagamaan biasanya sangat sensasional atau penuh dramatisasi. Ketiga, media masih sering melakukan labelisasi terhadap kelompok agama atau aliran tertentu. Keempat, media kurang memberikan tempat pada kelompok-kelompok minoritas kalaupun memberikan tempat, maka itu adalah kelompok minoritas ekslusif yang cenderung menyebarkan kebencian dan kekerasan dan tindakan lainnya yang mampu menarik perhatian media Karena dianggap mempunyai nilai berita.

Media menghindari peliputan agama secara mendalam karena dipandang sensitive dan berisiko. Miskinnya kedalaman dalam peliputan agama antara lain karena umumnya media cenderung memarjinalkan liputan agama dan tidak memberikan dukungan pengembangan profesionalisme jurnalis dalam peliputan agama.  Sehingga banyak jurnalis yang kurang memiliki pemahaman dan keterampilan khususnya dalam peliputan agama.

Seharusnya sebagai seorang jurnalis wajib memiliki nilai etis ketika menyampaikan fakta melalui medianya. Fakta jurnalistik tidak hadir dengan sendirinya di hadapan jurnalis. Menurut Idy Subandy: Fakta jurnalistik hadir lewat intervensi jurnalis dalam memilih peristiwa, memilih narasumber, memilih pertanyaan yang diajukan, memilih kalimat yang dikutip, memilih halaman mana yang akan diisi berita dan seterusnya.

Berdasarkan sebuah studi yang dilakukan pada jaringan televisi di Amerika. Dari 18.000 berita yang ditayangkan pada berita malam jaringan televisi tahun 1993, hanya 212 berkaitan dengan agama. Islam hanya mendapat 5 berita, yahudi 3 berita.

Dalam buku ini juga disebutkan bahwa hubungan media dan agama, pada level tertentu ditentukan oleh kenyataan bahwa kini media merupakan konteks dimana hubungan social dan kultural berlangsung dan representasi dibuat. Dalam pandangan yang berbeda disebutkan bahwa media sebagai sejenis cermin budaya atau forum budaya melalui mana relasi-relasi penting dalam budaya ditayangkan, diperdebatkan, diartikulasikan, dan dinegosiasikan. Pandangan ini berbeda dengan pandangan paradigma dominan dalam teori media yang menekankan mengenai efek media, ketimbang hubungannya dengan, atau tertanam dalam budaya. Realitas kenyataan bahwa masyarakat Indonesia hidup dalam kemajemukan namun fakta social yang terjadi masih saja lebih memilih dan bahkan memaksa untuk seragam ketimbang menjadi beragam.

Karya para jurnalis yang telah mengikuti pelatihan ini berupaya membingkai beritanya dalam perspektif pluralisme, baik dari segi pemilihan isu/topic, sudut pandang, maupun sumber beritanya. Terdapat 11 tulisan dalam buku ini. Beberapa yang menarik menurut saya, antara lain:
1.      Agamaku Noaulu.
Pada tulisan ini jurnalis mencoba mengangkat cerita tentang suku Noaulu di Pulau Seram, Maluku. Suku Noaulu tetap menjalankan keyakinannya sampai dengan saat ini.  Namun, karena agama, orang Noaulu mengalami diskriminasi dari hal pendidikan agama di sekolah, pencatatan kependudukan, pencatatan pernikahan, pencatatan kelahiran yang mewajibkan mereka untuk memilih salah satu agama yang sudah diakui oleh Negara ini. Untuk dapat menembus birokrasi administrasi, sebagai strategi, sebagian orang Noaulu memakai agama Hindu dan sebagian lagi memakai animism. Kendati keyakinan dan tata cara peribadatan berbeda sama sekali.
Padahal secara konstitusi, negara menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Sehingga Negara seharusnya bersikap adil pada semua penganut agama dan kepercayaan yang hidup di Negara ini.

2.      An-Nadzir Membangun Kemandirian dari Mawang
Komunitas An-Nadzir diterima baik di daerah tersebut karena dianggap telah merubah daerah tempat tinggal mereka saat ini menjadi daerah yang aman dan produktif. Hal lain yang membedakan komunitas An-Nadzir dari Mawang dengan daerah lain tidak lepas dari Tokoh Rangka yang merupakan putera asli Mawang yang menghibahkan tanahnya untuk mereka tinggali, sehingga komunitas ini dapat bertahan dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar.  Untuk  mendapatkan kehidupan yang mandiri, mereka mengembangkan usaha di bidang pertanian, peternakan, dan perikanan.
Berkembang dan diterima berbagai aliran agama di Sulawesi Selatan tidak lepas dari budaya Bugis-Makassar, menurut Ketua Forum Beragama Sulsel ini mengatakan selama sesuatu yang berbeda itu tidak menjadi ancaman maka tidak akan terjadi perlawanan atau resistensi. Toleransi adalah membiarkan perbedaan dan menghargainya.

3.      Islam yang Berintegrasi dengan Adat Istiadat Wamena
Bakar batu merupakan tradisi memasak bahan makanan di Wamena. Bahan makanan yang biasa digunakan daging babi, umbi-umbian, dan sayuran. Namun dalam bakar batu kali ini daging babi digantikan dengan daging ayam. Dalam acara yang diadakan oleh warga muslim Wamena tidak hanya mengundang sesama muslim namun juga menggundang warga lainnya. Mereka saling bergotong royong dan sebagai wadah untuk saling mengenal satu dengan yang lain. Warga muslim di Wamena tetap bisa mempertahankan tradisinya dengan agama baru yang mereka anut. Meski mereka adalah warga asli papua yang beragama islam tetapi mereka tidak mengalami diskriminasi. Karena sebagian dari mereka merupakan keluarga sendiri namun menganut agama lain seperti halnya Katolik.

Dalam buku ini memberikan saya wacana baru terhadap kehidupan beragama warga muslim minoritas yang ada di beberapa daerah di Negara ini. Seharusnya Negara dapat menjalankan melindungi hak warga negaranya seperti yang diamatkan dalam UUD ’45. Dan masyarakat pun diharapkan dapat lebih bijak dapat menyikapi keberagaman di lingkungannya.

Resensi buku: Perempuan



Judul buku : Perempuan
Penulis : M. Quraish Shihab
Tahun buku : 2005
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit : Lentera Hati
Tebal buku: 462 + xviii hlm.

Perempuan. Allah SWT menciptakan perempuan untuk berpasangan dengan lelaki karena Allah SWT menciptakan segala sesuatu yang ada di semesta ini berpasang-pasangan. Dengan berpasangan tidak harus selalu mengandung makna persamaan namun sekaligus bisa mengandung makna perbedaan. Perempuan dan lelaki keduanya adalah manusia namun berdasarkan fakta sejarah penghormatan terhadap lelaki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Lelaki diberi penghormatan lebih tinggi karena lelaki dianggap lebih kuat, lebih produktif, dan lebih potensial. Hal ini bisa terjadi diakibatkan oleh budaya serta pandangan agama dan kepercayaan di masyarakat dan agama seringkali dijadikan dalih untuk pandangan negatif tersebut.
Dalam bukunya yang berjudul “Perempuan”, penulis mencoba mengajak para pembaca untuk memahami potensi perempuan, karena mengabaikan perempuan berarti mengabaikan separuh potensi dari masyarakat, dan melecehkan perempuan berarti melecehkan seluruh manusia karena tidak seorang manusia pun, yang tidak lahir melalui perempuan kecuali Adam dan Hawa as selain itu pula dapat menempatkan perempuan pada tempat yang semestinya, yaitu pada tempat yang sesuai dengan kodrat yang direntangkan Tuhan untuknya. Pembahasan yang diangkat didasarkan pada pengalaman penulis dalam mengikuti perkembangan dan diskursus mengenai perempuan, misalnya saja mengenai perbedaan lelaki dan perempuan baik dari segi fisik, perilaku maupun dari segi psikologi, bias pandangan lama terhadap perempuan, perempuan dan kecantikan, perempuan dan cinta, harakat dan kemandirian perempuan, bias cendikiawan kontemporer, kepemimpinan perempuan, perempuan dan politik, perempuan dan aneka aktivitas, perempuan dan olah raga, perempuan dan seni suara, perempuan dan eksploitasi, dan lain-lain. Penjelasan yang diberikan tidak hanya merujuk pada satu sumber atau pendapat, namun membandingkannya dari beberapa sumber atau pendapat.
Al Quran, Hadits, riwayat para sahabat nabi, hasil penelitian yang dilakukan oleh ahli psikologi, filsafat, sejarawan serta bidang keilmuan lainnya menjadi sumber referensi penulis dalam menjabarkan maksud tulisanya. Misalnya saja ambil contoh, salah satu pendapat mengenai asal kejadian manusia. “saling memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok” (H.R Bukhari, Muslim, dan At-Tirmidzi melalui Abu Hurairah). Dalam kalimat ini penulis menjelaskan bahwa hadits ini tidak boleh dipahami secara harafiah, maksud sebenarnya dari hadist ini adalah untuk memperingatkan lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana karena ada sifat dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki. Yang bila tidak disadari akan dapat mengantarkan kaum lelaki untuk berperilaku tidak wajar. Siapapun tidak mampu mengubah kodrat termasuk kodrat perempuan.
Pada masa kini ketika hak-hak perempuan telah diakui, antara lain hak memperoleh pendidikan, hak mendapatkan pekerjaan, hak berpolitik, hak mengungkapkan pendapat, hak memilih pasangan hidup, dan hak lainnya maka perempuan dapat bangkit menuliskan sejarahnya tanpa didikte oleh lelaki.

Resensi Buku Totto Chan




Judul buku : Totto Chan
Penulis : Tetsuko Kuroyanagi
Tahun buku : 1981
Penerbit : Kodansha Publisher
Tebal buku: 281 hlm

Buku ini menceritakan tentang seorang gadis kecil yang bernama Tetsuko namun mama Tetsuko memanggilnya dengan sebutan Totto Chan. Dia tinggal bersama kedua orang tuanya dan seekor anjing yang bernama Rocky. Cerita dalam buku ini berdasarkan kisah nyata perjalanan hidup Totto Chan. Pertemuannya dengan pak Kepala Sekolah Sosaku Kobayashi mengantarnya untuk menemukan “watak baik” dalam dirinya.

Kisah ini diawali dengan Totto Chan yang dikeluarkan dari sekolah dasar. Padalah waktu itu dia masih duduk di bangku kelas 1. Alasan Totto dikeluarkan sangat sederhana bahwa guru yang mengajarnya tidak tahan lagi dengan perilaku berekpresinya. Misalnya Totto pernah berdiri di samping jendela ruang kelasnya selama jam pelajaran. Wajahnya menghadap ke luar ruangan. Ketika ditanya dia sedang apa, dia menjawab bahwa dia sedang menunggu para pemusik jalanan. Tidak hanya satu, setiap pemusik jalanan yang melintas di depan jendelanya dia langsung meminta kepada mereka untuk memainkan lagu. Ketika ditegur, Totto hanya menjawab “kan sayang bila mereka dibiarkan lewat begitu saja”.  Totto juga sering mengatakan “Kau sedang apa” pada saat jam pelajaran ketika ditanya dia bertanya kepada siapa. Dia blang dia sedang bertanya kepada burung-burung yang sedang terbang, tupai yang sedang berteduh di pohon di dekat gerbang sekolah. Hal-hal tersebutlah yang membuat guru di sekolah Totto merasa tidak bisa tahan lagi dengan perilakunya tsb. Totto Chan, anak yang mempunyai daya khayal yang tinggi. Dia juga sangat menyukai hal yang baru. Totto chan pernah meminta kepada petugas penggumpul karcis kereta api agar diperbolehnya menyimpan satu karcis kereta. Namun hal ini tidak diperbolehkan.

Di sekolah barunya, Tomoe Gakuen. Totto Chan banyak menemukan hal menarik yang tidak akan terdapat pada sekolah lain. Gerbang sekolah Tomoe terbuat dari dua batang kayu yang masih ditumbuhi ranting dan daun. Ruang kelasnya pun bukan bangunan dari batu bata namun menggunakan enam gerbong kereta api yang sudah tidak terpakai.  Di Tomoe Gakuen lah, dia bertemu Sosaku Kobayashi. Pertama kali bertemu dengannya, Totto Chan merasa aman, hangat, dan senang. Belum pernah ia menemui orang yang mau mendengarkan cerita dia berjam-jam tanpa merasa bosan.

Dengan tutur kata yang sederhana, Tetsuko mengajak pembacanya untuk mengikuti betapa serunya hal-hal yang Totto Chan kerjakan. Di buku ini juga diceritakan bahwa orang dewasa setidaknya bisa mendengarkan apa yang anak-anak mereka katakan. Bila anak-anak terlalu berlebihan dalam mengekspresikan dirinya bukan berarti dia anak yang mempunyai perilaku payah. Sekolah sebagai salah satu sarana belajar anak tidaklah harus mengekang murid-muridnya dengan ketentuan pengajaran yang ada. Di sekolah Tomoe ini, tidak seperti sekolah lainnya yang setiap jam pelajaran diisi oleh satu mata pelajaran. Di awal mata pelajaran, guru akan membuat daftar semua soal dan pertanyaan mengenai hal-hal yang akan diajarkan hari itu. Kemudian anak-anak diperbolehkan memilih mata pelajaran yang disukainya. Sangat menyenangkan bila memulai hari dengan sesuatu yang menyenangkan. Dengan metode pengajaran seperti ini guru-guru dapat melihat minat yang dimiliki anak didiknya termasuk cara berpikir dan karakternya.

Selanjutnya dalam buku ini digambarkan peristiwa-peristiwa yang dialami Totto Chan, teman-temannya, pelajaran-pelajaran yang diterima seperti kegiatan piknik bersama, makan siang bersama, berkemah, pergi mengunjungi kuil, menyiapkan lagu untuk sekolah Tomoe. 

Metode pendidikan yang diterapkan oleh Sosaku Kobayashi kepada anak didiknya adalah menemukan watak baik di setiap anak dan mengarahkannya. Karena pada dasarnya, setiap anak dilahirkan dengan watak baik, yang dengan mudah bisa rusak karena lingkungan mereka atau karena pengaruh buruk orang dewasa.

Lalu kisah Totto Chan tutup dengan musnahnya sekolah Tomoe dimakan api karena serangan bom di Tokyo tahun 1945.