Kamis, 04 Februari 2016

Resensi buku: Batavia Kota Banjir



Jakarta, 29 September 2015

Judul buku : Batavia Kota Banjir
Penulis: alwi Shahab
Tahun buku : 2009
Penerbit : Republik
Tebal buku: vi + 203 hlm

Batavia kota banjir hanya lah salah satu dari kisah Jakarta Tempo Dulu yang terdapat dalam buku dengan judul yang sama. Alwi Shahab, penulis dari buku ini mempunyai pengetahuan yang mendalam mengenai sejarah kota Jakarta. Kota Jakarta dengan usianya yang kini memasuki tahun ke 488 sejak didirikan oleh JP coen tahun 1527, memiliki sejarah panjang yang menarik untuk disimak.

Persoalan banjir merupakan salah satu masalah yang kerap memusingkan para pemimpin kota ini. Banjir seolah tak pernah jemu untuk mengenangi kota Jakarta terutama di puncak musim penghujan. Dengan membaca buku ini paling tidak pembaca akan sedikit mengerti kenapa masalah yang kerap timbul itu masih sulit untuk ditangani.

 Jakarta yang terletak di dataran rendah, sejak zaman Kerajaan Tarumanegara memang sering dilanda banjir. Terekam dalam prasasti tugu yang kini tersimpan di museum sejarah Jakarta, Raja Purnawarman pernah memerintahkan untuk menggali sebuah kali mulai dari Bekasi hingga ke Tangerang sebagai upaya untuk mengatasi banjir.

Banjir paling besar pernah terjadi di Batavia pada tahun 1872, kita tidak tau sebesar apa banjir pada waktu itu bila dibandingkan dengan banjir sekarang. Paling tidak pada saat itu sungai Ciliwung meluap dan merendam pertokoan serta hotel di Jl. Gajah Mada, Hayam Wuruk, Harmoni, Rijswijk (Jl. Veteran), dan Noordwijk (Jl. Juanda).

Pemerintah Hindia Belanda sangat sadar dengan kondisi Batavia yang berada di dataran rendah berawa-rawa serta banyak terdapat situ atau danau kecil. Pada tahun 1895, dirancang sebuah grand design pembangunan dari daerah hulu di kawasan puncak hingga daerah hilir di daerah utara jakarta. Namun kini, pembangunan kawasan puncak sudah menyalahi tata ruang dan beralih fungsi sehingga tidak heran bila Jakarta kehilangan daerah resapan air,  tak hanya itu penduduk Jakarta pun berkontribusi dengan tidak mempedulikan kebersihan sungai, membuang sampah sembarangan, membangun rumah di atas bantaran kali, membangun mall atau daerah industri di daerah yang seharusnya menjadi daerah resapan.

Mengatasi masalah banjir bukan hal mudah dan bisa berlangsung cepat, diperlukan dukungan pemerintah, dan partisipasi dari warga.  Kala itu, Pemerintah Hindia Belanda sangat tegas dalam menghukum mereka yang kepergok membuang sampah di sungai. Belanda juga mengeluarkan perintah agar semua kali buatan dan kanal  di dalam kota Batavia dibersihkan dari penduduk yang tinggal di bantarannya. Mungkin pemerintah DKI Jakarta saat ini bisa mencontoh usaha-usaha positif yang pernah dilakukan Pemerintah Hindia Belanda untuk dapat mengurangi dampak dari banjir, baik banjir kiriman maupun banjir setempat.

Penulis juga mengajak pembacanya untuk menyusuri jalan-jalan, bangunan, kampung-kampung tua, serta kehidupan sosial para penduduk Batavia serta perubahannya yang dapat kita lihat saat ini. Setidaknya dengan adanya rekam sejarah kota Jakarta, kita dapat mempelajari hal apa saja yang pernah terjadi dahulu, karena siklus kehidupan selalu berputar maka ada suatu masa kita akan menghadapi masalah yang sama yang pernah dihadapi pada masa dahulu, tinggal bagaimana kita bisa dengan bijak mempergunakan fakta sejarah tersebut.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar