Jakarta, 01 November 2015
Judul buku : Media dan Pelayanan Publik
Editor: Farid Gaban, P. Bambang wisudo, dan Samiaji
Bintang
Tahun buku : 2014
Penerbit : LSPP
Tebal buku: xv + 228 hlm
Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin pernah
mempunyai pengalaman atau mendengar keluhan dari teman mengenai berbagai bentuk
pelayanan publik seperti soal KTP, SIM, paspor, akte kelahiran dan sebagainya.
Sebenarnya bagaimana kondisi pelayanan publik di Indonesia? Menurut Hanif
Suranto, penulis kata pengantar dalam buku ini, secara umum kondisinya belum
menggembirakan. Berdasarkan survei World Bank terhadap 183 negara pada tahun
2011, menempatkan Indonesia pada urutan ke 129 dalam hal pelayanan publik. Kendati
tidak selalu berhubungan dengan banyaknya keluhan yang disampaikan masyarakat
maka hal ini sedikit menunjukkan ekspresi ketidakpuasan masyarakat terhadap
pelayanan publik yang diselenggarakan negara. Bahwa negara memberikan kepastian
hukum dalam hubungan antara masyarakat dan penyelenggara dalam pelayanan
publik. Seperti yang diatur dalam Undang-undang no. 25 tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik. Penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan pada: a.
kepentingan umum, b. kepastian hukum, c. kesamaan hak, d. keseimbangan hak dan
kewajiban, e. keprofesionalan, f. partisipatif, g. persamaan perlakuan/tidak
diskriminatif, h. keterbukaan, i. akuntabilitas, j. fasilitas dan perlakuan
khusus bagi kelompok rentan, k. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Lantas bagaimana media bisa mempunyai peran dalam hal
pelayanan publik? Berdasarkan laporan dengan judul Engaging Local Meedia to Improving Public Service Delivery
(KINERJA-USAID, 2011), setidaknya ada lima peran kunci media dalam hal
pelayanan publik yakni sebagai penyalur informasi, peran pengawas, peran umpan
balik, peran respon, dan peran kampanye. Sejauh ini masyarakat masih
mengandalkan media untuk menyampaikan keluhan. Banyak media, terutama media
lokal yang menyediakan halaman khusus untuk komplain masyarakat atau
menempatkan keluhan masyarakat dengan membahasnya di program acara yang mereka
miliki.
Memang diperlukan komitmen yang kuat dari media dalam mengusung
isu-isu pelayanan publik sebab seringkali isu tersebut dibingkai dari
perspektif elit atau penyelenggara pelayanan publik.
Sembilan karya jurnalisme yang dimuat buku ini merupakan
karya para pemenang felowship untuk
peliputan yang mendalam di bidang pelayanan publik yang diselenggarakan oleh
LSPP bersama Kemintraan dan USAID. Sembilan karya dalam buku ini mencoba mengangkat
berbagai persoalan terkait isu pelayanan publik dasar, yaitu administrasi kependudukan, pendidikan,
dan kesehatan. Dalam kegiatan reportasenya, para jurnalis melakukan perjalanan
ke desa atau daerah yang menjadi fokus perhatian mereka dan mewawancarai sejumlah
pihak baik dari pengguna maupun penyelenggara pelayanan publik.
Pada bagian pertama, pembaca akan diajak untuk mengetahui
sulitnya proses mengurus administrasi kependudukan seperti yang dialami oleh
masyarakat penganut agama Parmalin di desa Batunagodang Siatas-Medan. Sulitnya
mendapatkan fasilitas yang lebih baik karena mereka tidak bisa mencantumkan
agama yang mereka anut pada kolom agama yang terdapat di KTP. Hal ini
disebabkan karena saat ini hanya ada lima agama yang diakui secara resmi oleh
negara. Kehilangan identitas agama tidak hanya membatasi mereka untuk
mendapatkan fasilitas yang lebih baik namun juga sebagai bentuk dari pengingkaran
hak-hak sipil mereka dalam memperoleh pekerjaan maupun dalam mendapatkan
pelayanan publik. Kisah lain dari desa Gapura, kecamatan Sambas ini masih
banyak orang tua yang tidak melakukan pencatatan akta kelahiran anak-anak
mereka. Hal ini disebabkan oleh faktor infrastruktur yang buruk serta terbatasnya
jumlah tenaga PNS untuk melayani administrasi kependudukan. Padahal akta
kelahiran bukan sekedar pengakuan dari negara namun akta kelahiran menjadi
syarat formal saat anak mendaftar ke sekolah. Dampak lainnya, anak-anak yang
tidak memiliki akta kelahiran akan rawan menjadi korban perdagangan anak.
Pada bagian kedua yang mengangkat isu pendidikan,
diceritakan bahwa faktor utama yang menjadi kendala rendahnya tingkat
pendidikan di daerah terpencil, terluar, tertinggal, dan perbatasan ini
disebabkan oleh sulitnya akses transportasi, sekolah yang rusak, terbatasnya
tenaga pendidik yang bisa bekerja secara profesional. Sehingga banyak anak-anak
usia sekolah yang memilih untuk bekerja. Tambahan lain yakni masih kurangnya
perhatian pemerintah terhadap pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus serta
angggaran pendidikan yang minim.
Pada bagian ketiga tentang isu kesehatan, walaupun
pemerintah telah mencanangkan Program kesehatan gratis bagi masyarakat luas.
Namun program ini baru sampai pada tahap mengkaver biaya pengobatannya saja
sedangkan ongkos transportasi dan biaya sehari-hari selama menunggu hingga
mendapat ruang perawatan menjadi beban berat bagi keluarga pasien. Kendala sebaliknya
yang dialami oleh rumah sakit adalah keterbatasan jumlah tempat tidur sehingga pasien
harus antri menunggu untuk mendapatkan ruang perawatan. Selain sulitnya
mendapatkan tempat perawatan, kendala yang lain yakni akses transportasi. Akses transportasi ke rumah sakit menempuh
perjalanan yang jauh sehingga banyak pasien yang meninggal dalam perjalanan
untuk memperoleh pengobatan.
Menurut Djoko dari Ikatan Dokter indonesia pelayan
kesehatan yang berkualitas dan terjangkau merupakan hak setiap warga negara
yang harus dipenuhi oleh penyelenggara negara. Hanya saja kualitas pelayanan
kesehatan sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan kecukupan sumber daya manusia
kesehatan, ketersediaan sarana dan prasarana sesuai kebutuhan, serta sistem
pelayanan kesehatan dan pendanaan yang memadai.
Berdasarkan kisah diatas penyelenggara pelayanan publik
harus mempunyai komitmen yang kuat untuk memberikan pelayanan prima kepada
masyarakat serta dukungan dari negara untuk membenahi infrastruktur dan
anggaran yang diperlukan untuk meningkatkan pelayanan publik.