Kamis, 04 Februari 2016

Resensi Buku: Media dan Pelayanan Publik



Jakarta, 01 November 2015

Judul buku : Media dan Pelayanan Publik
Editor: Farid Gaban, P. Bambang wisudo, dan Samiaji Bintang
Tahun buku : 2014
Penerbit : LSPP
Tebal buku: xv + 228 hlm

Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin pernah mempunyai pengalaman atau mendengar keluhan dari teman mengenai berbagai bentuk pelayanan publik seperti soal KTP, SIM, paspor, akte kelahiran dan sebagainya. Sebenarnya bagaimana kondisi pelayanan publik di Indonesia? Menurut Hanif Suranto, penulis kata pengantar dalam buku ini, secara umum kondisinya belum menggembirakan. Berdasarkan survei World Bank terhadap 183 negara pada tahun 2011, menempatkan Indonesia pada urutan ke 129 dalam hal pelayanan publik. Kendati tidak selalu berhubungan dengan banyaknya keluhan yang disampaikan masyarakat maka hal ini sedikit menunjukkan ekspresi ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan publik yang diselenggarakan negara. Bahwa negara memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara masyarakat dan penyelenggara dalam pelayanan publik. Seperti yang diatur dalam Undang-undang no. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan pada: a. kepentingan umum, b. kepastian hukum, c. kesamaan hak, d. keseimbangan hak dan kewajiban, e. keprofesionalan, f. partisipatif, g. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, h. keterbukaan, i. akuntabilitas, j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, k. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.

Lantas bagaimana media bisa mempunyai peran dalam hal pelayanan publik? Berdasarkan laporan dengan judul Engaging Local Meedia to Improving Public Service Delivery (KINERJA-USAID, 2011), setidaknya ada lima peran kunci media dalam hal pelayanan publik yakni sebagai penyalur informasi, peran pengawas, peran umpan balik, peran respon, dan peran kampanye. Sejauh ini masyarakat masih mengandalkan media untuk menyampaikan keluhan. Banyak media, terutama media lokal yang menyediakan halaman khusus untuk komplain masyarakat atau menempatkan keluhan masyarakat dengan membahasnya di program acara yang mereka miliki.
Memang diperlukan komitmen yang kuat dari media dalam mengusung isu-isu pelayanan publik sebab seringkali isu tersebut dibingkai dari perspektif elit atau penyelenggara pelayanan publik.
Sembilan karya jurnalisme yang dimuat buku ini merupakan karya para pemenang felowship untuk peliputan yang mendalam di bidang pelayanan publik yang diselenggarakan oleh LSPP bersama Kemintraan dan USAID. Sembilan karya dalam buku ini mencoba mengangkat berbagai persoalan terkait isu pelayanan publik dasar,  yaitu administrasi kependudukan, pendidikan, dan kesehatan. Dalam kegiatan reportasenya, para jurnalis melakukan perjalanan ke desa atau daerah yang menjadi fokus perhatian mereka dan mewawancarai sejumlah pihak baik dari pengguna maupun penyelenggara pelayanan publik.


Pada bagian pertama, pembaca akan diajak untuk mengetahui sulitnya proses mengurus administrasi kependudukan seperti yang dialami oleh masyarakat penganut agama Parmalin di desa Batunagodang Siatas-Medan. Sulitnya mendapatkan fasilitas yang lebih baik karena mereka tidak bisa mencantumkan agama yang mereka anut pada kolom agama yang terdapat di KTP. Hal ini disebabkan karena saat ini hanya ada lima agama yang diakui secara resmi oleh negara. Kehilangan identitas agama tidak hanya membatasi mereka untuk mendapatkan fasilitas yang lebih baik namun juga sebagai bentuk dari pengingkaran hak-hak sipil mereka dalam memperoleh pekerjaan maupun dalam mendapatkan pelayanan publik. Kisah lain dari desa Gapura, kecamatan Sambas ini masih banyak orang tua yang tidak melakukan pencatatan akta kelahiran anak-anak mereka. Hal ini disebabkan oleh faktor infrastruktur yang buruk serta terbatasnya jumlah tenaga PNS untuk melayani administrasi kependudukan. Padahal akta kelahiran bukan sekedar pengakuan dari negara namun akta kelahiran menjadi syarat formal saat anak mendaftar ke sekolah. Dampak lainnya, anak-anak yang tidak memiliki akta kelahiran akan rawan menjadi korban perdagangan anak.

Pada bagian kedua yang mengangkat isu pendidikan, diceritakan bahwa faktor utama yang menjadi kendala rendahnya tingkat pendidikan di daerah terpencil, terluar, tertinggal, dan perbatasan ini disebabkan oleh sulitnya akses transportasi, sekolah yang rusak, terbatasnya tenaga pendidik yang bisa bekerja secara profesional. Sehingga banyak anak-anak usia sekolah yang memilih untuk bekerja. Tambahan lain yakni masih kurangnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus serta angggaran pendidikan yang minim.

Pada bagian ketiga tentang isu kesehatan, walaupun pemerintah telah mencanangkan Program kesehatan gratis bagi masyarakat luas. Namun program ini baru sampai pada tahap mengkaver biaya pengobatannya saja sedangkan ongkos transportasi dan biaya sehari-hari selama menunggu hingga mendapat ruang perawatan menjadi beban berat bagi keluarga pasien. Kendala sebaliknya yang dialami oleh rumah sakit adalah keterbatasan jumlah tempat tidur sehingga pasien harus antri menunggu untuk mendapatkan ruang perawatan. Selain sulitnya mendapatkan tempat perawatan, kendala yang lain yakni akses transportasi. Akses transportasi ke rumah sakit menempuh perjalanan yang jauh sehingga banyak pasien yang meninggal dalam perjalanan untuk memperoleh pengobatan.
Menurut Djoko dari Ikatan Dokter indonesia pelayan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau merupakan hak setiap warga negara yang harus dipenuhi oleh penyelenggara negara. Hanya saja kualitas pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan kecukupan sumber daya manusia kesehatan, ketersediaan sarana dan prasarana sesuai kebutuhan, serta sistem pelayanan kesehatan dan pendanaan yang memadai.

Berdasarkan kisah diatas penyelenggara pelayanan publik harus mempunyai komitmen yang kuat untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat serta dukungan dari negara untuk membenahi infrastruktur dan anggaran yang diperlukan untuk meningkatkan pelayanan publik.  











Resensi buku: Batavia Kota Banjir



Jakarta, 29 September 2015

Judul buku : Batavia Kota Banjir
Penulis: alwi Shahab
Tahun buku : 2009
Penerbit : Republik
Tebal buku: vi + 203 hlm

Batavia kota banjir hanya lah salah satu dari kisah Jakarta Tempo Dulu yang terdapat dalam buku dengan judul yang sama. Alwi Shahab, penulis dari buku ini mempunyai pengetahuan yang mendalam mengenai sejarah kota Jakarta. Kota Jakarta dengan usianya yang kini memasuki tahun ke 488 sejak didirikan oleh JP coen tahun 1527, memiliki sejarah panjang yang menarik untuk disimak.

Persoalan banjir merupakan salah satu masalah yang kerap memusingkan para pemimpin kota ini. Banjir seolah tak pernah jemu untuk mengenangi kota Jakarta terutama di puncak musim penghujan. Dengan membaca buku ini paling tidak pembaca akan sedikit mengerti kenapa masalah yang kerap timbul itu masih sulit untuk ditangani.

 Jakarta yang terletak di dataran rendah, sejak zaman Kerajaan Tarumanegara memang sering dilanda banjir. Terekam dalam prasasti tugu yang kini tersimpan di museum sejarah Jakarta, Raja Purnawarman pernah memerintahkan untuk menggali sebuah kali mulai dari Bekasi hingga ke Tangerang sebagai upaya untuk mengatasi banjir.

Banjir paling besar pernah terjadi di Batavia pada tahun 1872, kita tidak tau sebesar apa banjir pada waktu itu bila dibandingkan dengan banjir sekarang. Paling tidak pada saat itu sungai Ciliwung meluap dan merendam pertokoan serta hotel di Jl. Gajah Mada, Hayam Wuruk, Harmoni, Rijswijk (Jl. Veteran), dan Noordwijk (Jl. Juanda).

Pemerintah Hindia Belanda sangat sadar dengan kondisi Batavia yang berada di dataran rendah berawa-rawa serta banyak terdapat situ atau danau kecil. Pada tahun 1895, dirancang sebuah grand design pembangunan dari daerah hulu di kawasan puncak hingga daerah hilir di daerah utara jakarta. Namun kini, pembangunan kawasan puncak sudah menyalahi tata ruang dan beralih fungsi sehingga tidak heran bila Jakarta kehilangan daerah resapan air,  tak hanya itu penduduk Jakarta pun berkontribusi dengan tidak mempedulikan kebersihan sungai, membuang sampah sembarangan, membangun rumah di atas bantaran kali, membangun mall atau daerah industri di daerah yang seharusnya menjadi daerah resapan.

Mengatasi masalah banjir bukan hal mudah dan bisa berlangsung cepat, diperlukan dukungan pemerintah, dan partisipasi dari warga.  Kala itu, Pemerintah Hindia Belanda sangat tegas dalam menghukum mereka yang kepergok membuang sampah di sungai. Belanda juga mengeluarkan perintah agar semua kali buatan dan kanal  di dalam kota Batavia dibersihkan dari penduduk yang tinggal di bantarannya. Mungkin pemerintah DKI Jakarta saat ini bisa mencontoh usaha-usaha positif yang pernah dilakukan Pemerintah Hindia Belanda untuk dapat mengurangi dampak dari banjir, baik banjir kiriman maupun banjir setempat.

Penulis juga mengajak pembacanya untuk menyusuri jalan-jalan, bangunan, kampung-kampung tua, serta kehidupan sosial para penduduk Batavia serta perubahannya yang dapat kita lihat saat ini. Setidaknya dengan adanya rekam sejarah kota Jakarta, kita dapat mempelajari hal apa saja yang pernah terjadi dahulu, karena siklus kehidupan selalu berputar maka ada suatu masa kita akan menghadapi masalah yang sama yang pernah dihadapi pada masa dahulu, tinggal bagaimana kita bisa dengan bijak mempergunakan fakta sejarah tersebut.




Resensi buku: Das Kapital untuk Pemula



Jakarta, 30 Agustus 2015

Judul buku : Das Kapital untuk Pemula
Penulis: David Smith & Phil Evans
Penerjemah : Ugoran Prasad
Tahun buku : 2004
Penerbit : Resist Book
Tebal buku: ii + 190 hlm

Pernah baca buku Das Kapital karya Karl Marx? Saya belum pernah membaca buku tersebut. Mencoba untuk memahami pemikiran Marx dalam Das Kapital tentu lah sangat pusing. Namun buku Das Kapital untuk Pemula ini hadir dalam bentuk yang berbeda. Kata dan gambar digunakan sebagai media yang lebih komunikatif sehingga dalam menyampaikan isinya diharapkan lebih mudah dicerna.

Melalui Das Kapital, Marx menunjukkan bagaimana kapitalisme bekerja dengan cara mengeksploitasi buruh-buruh, baik itu perempuan, laki-laki, dan juga anak-anak. Seluruh fakta di analisa, dari harga dan keuntungan sampai upah dan hari kerja. Mengapa buruh memproduksi komoditi, mengapa uang sangat berkuasa, dimanakah kapital berpihak, dan mengapa krisis ekonomi terjadi. 

Buku ini diawali dengan Karl Marx yang lahir di Trier tahun 1818. Dia meraih gelar doktoral di bidang filsafat, dan tertarik pada ide-ide politik revolusioner. Karl Marx beserta keluarganya hidup miskin dan terbuang. Berpindah-pindah negara akibat sikap-sikapnya yang radikal. Diawali dengan tulisannya yang tidak objektif sebagai editor pada Rhenish Gazette tahun 1842. Akibat pandangan filsafatnya yang radikal membuat para pekerja penanam anggur Silesian bangkit, dan Marx lebih membela pekerja di kebun anggur Silesian untuk memperjuangkan hak-hak demokratis mereka. Pemerintah Prussia pun membredel Rhenish Gazette dan mengusir Marx. Dibuang dari Prussia, kemudian ke Jerman, lalu Perancis, hingga akhirnya Marx ke Inggris.

Di buku ini tidak ada pembabakan, yang ada yakni penjelasan singkat beserta contoh dari unit-unit dalam rangkaian kapitalisme modal. Di mulai dari komoditas, produk untuk kegunaan, alienasi nilai guna, kelebihan produksi, nilai tukar, kerja abstrak, alienasi dari kerja guna, fetishism, uang, akumulasi modal, tenaga kerja, pengambil-alihan, penciptaan kelas pekerja, nilai lebih, tingkat nilai lebih, kekuatan buruh dan perjuangan kelas, serta penghapusan buruh upah.

Ada satu peristiwa yang menarik yang diceritakan dalam buku ini. Komune Paris, tahun 1871. Sebuah kebangkitan kaum buruh bersama pemilik modal kecil-kecilan di Paris. Marx menyebutkan Komune Paris sebagai contoh dari apa yang disebut “diktatur-proletariat”. Kelas pekerja memerintah diri sendiri secara demokratis, atas nama mereka sendiri, sembari terus berperang melawan upaya-upaya kontra revolusioner dan kelas kapitalis tak lagi dapat tempat. Atas terjadinya Komune Paris, Marx kemudian merevisi Das Kapital dalam bahasa Perancis yang kemudian dibaginya atas beberapa serial dengan tujuan agar  serial tersebut dapat mudah ditemui oleh kaum buruh Perancis.

Sampai akhir hayatnya, Marx memiliki adalah keyakinan, bahwa kaum buruh dapat dan harus mengakhiri “produksi untuk profit” dan sebaliknya, membangun masyarakat yang berdasarkan pada “kaum buruh yang berserikat dengan bebas dan merdeka.”

Dalam buku ini memang disajikan dalam bentuk kata dan gambar, namun ternyata tidak semua pembahasan di dalam buku bisa saya mengerti. Seperti, penjelasan mengenai nilai lebih, tingkat nilai lebih. Perlu banyak ditambahkan contoh atau perumpamaan. Dengan segala keterbatasan saya dalam memahami tentang Das Kapital, buku ini memberikan saya pengetahuan baru mengapa kapitalisme bisa terjadi, mengapa perlu uang, dan apa yang harus bisa dilakukan untuk menjadi pekerja yang merdeka.

Sabtu, 02 Januari 2016

Resensi Buku: Media dan Konflik Ambon



Jakarta, 02 Jan 2016

Judul buku : Media dan Konflik Ambon
Penulis : Eriyanto
Tahun buku : 2003
Penerbit : PT Sembrani Akrasa Nusantara
Tebal buku: xi + 190 hlm

Buku Media dan Konflik Ambon ini berdasarkan penelitian mengenai konflik dengan berlatar agama yang terjadi antara tahun 1999 – 2002. Media yang seharusnya bisa memainkan peran dengan bersikap netral dan dapat menyajikan informasi akurat dan informatif namun pada konflik Ambon ini hal tersebut tidak berlaku.

Dalam buku ini tersaji bagaimana peranan media terutama koran dan radio di Ambon selama kurang lebih empat tahun dalam meliput dan “memanaskan” berita. Meminjam kata seorang jurnalis Bosnia, “Para jurnalis yang sembunyi di balik pena atau mikropon, untuk menganjurkan perang, sesungguhnya lebih jahat dari orang-orang yang saling bunuh itu sendiri.” Berbagai peristiwa kerusuhan yang terjadi pada masa konflik seringkali dilihat sebagai akibat dari pemberitaan.

Ambon memiliki luas  337 km2. Semasa konflik yang melibatkan komunitas Islam dan Kristen, tidak hanya menelan korban jiwa separuh dari jumlah populasi penduduk yang kala itu mendiami Ambon, namun juga menyebabkan kerusakan baik di pemukiman penduduk, dunia pendidikan serta ratusan ribu orang yang terpaksa mengungsi. Konflik tersebut menghancurkan ikatan persaudaraan yang selama ini terbangun. Selama konflik, warga Islam dan warga Kristen menempati wilayah yang berbeda, angkutan kota yang berbeda, pasar berbeda, rumah makan berbeda. Kehidupan secara tegas dipisahkan oleh garis agama.    

Dengan menggunakan metode deskriptif analistis, para peneliti menggumpulkan data lewat tiga mekanisme yakni dengan melakukan wawancara secara mendalam dengan narasumber, observasi lapangan meliputi daerah Jakarta, Surabaya, Ambon dan Makassar, serta analisis isi untuk melihat bagaimana media di Ambon menggambarkan kerusuhan Ambon.

Buku ini menjelaskan bahwa akar konflik lahirnya segregasi berdasar agama bisa dibilang dimulai pada saat penjajah menginjakkan kakinya di Maluku. Hampir seluruh daerah Maluku bagian Utara mayoritas beragama Islam sehingga Belanda dengan misionaris Kristen tidak punya pilihan dengan menanamkan pengaruhnya di Maluku bagian Selatan. Kecenderungan warga untuk mendiami suatu wilayah berdasarkan agama terus berlangsung selama puluhan tahun. Desa Islam bisa hidup berdampingan dengan desa Kristen. Tidak jarang dijumpai, bangunan gereja bersebelahan dengan bangunan masjid. Namun sejak akhir 1980-an, segregasi teritorial berdasar agama itu menjadi masalah terutama di Ambon dikarenakan tiga hal, yaitu: perubahan komposisi penduduk, perubahan pelapisan sosial, dan perubahan budaya. Semua kondisi tersebut bertumpuk menjadi satu, berbaur menjadi isu soal sentimen etnis dan agama. Hal ini makin diperparah dengan krisis ekonomi tahun 1998.

Saat konflik meletus awal tahun 1999, media lokal pada saat itu: RRI, TVRI, dan Suara Maluku. Orang banyak berharap pada media tersebut dapat menyuarakan informasi yang berimbang dari kedua belah pihak. Namun karena masalah teknis wilayah, keamanan dan mekanisme kerja serta tekanan warga menyebabkan media ikut terlibat dan mendukung pihak tertentu yang terlibat dalam konflik.

Terbitnya dua media untuk dua komunitas agama yang berbeda pada Juli 1999, menandai terpecahnya segregasi masyarakat Ambon secara keseluruhan. Berita dari dua sisi sulit diperoleh. Pada saat itu ada tiga sumber informasi walaupun lemah dan tidak akomodatif namun tetap digunakan yakni Pertama, aparat kepolisian atau pemerintah. Kedua, posko informasi baik di komunitas Kristen maupun komunitas Islam. Ketiga, dari sesama teman wartawan.

Dari tahun 1999-2002, di Ambon tercatat ada 10 koran yang pernah terbit dan 10 radio mengudara. Banyaknya media ini diikuti dengan persaingan yang tajam. Meski tidak dimaksudkan sebagai corong salah satu komunitas agama tertentu, tetapi homogenitas itu sukar ditampik.

Pada buku ini juga dijelaskan tentang bagaimana kasus Suara Maluku dan Ambon Ekspres bisa terjadi, seperti apa potret dan basis ekonomi media di Ambon, serta bagaimana pemberitaan media baik koran maupun radio dalam melakukan perang informasi sepanjang tahun 1999-2002.

Konflik di Ambon menapaki sejarah baru setelah diadakan perundingan antara kedua kelompok yang bertikai di Malino pada Februari 2002. Salah satu poin penting pada perjanjian tersebut, antara lain penghentian kekerasan, pengembalian para pengungsi ke tempat semula, dan penegakan hukum. Berita pada media di Ambon pun mengalami perubahan orientasi pemberitaan. Bila pemberitaan selama konflik cenderung provokatif, tanpa cek ke lapangan, dan tanpa konfirmasi kepada pihak lain. Namun pasca perjanjian Malino, pemberitaan tampak lebih berhati-hati serta adanya perubahan kebijakan redaksi media di Ambon. Dalam situasi yang sudah berubah ini, siapa yang bisa menyajikan berita yang baik, akan bisa menarik pembaca lebih banyak.  

Hasil penelitian dalam buku ini memberikan kesadaran mengenai peran media dalam suatu konflik. Media bisa menjadi instrumen yang membenarkan penyerangan dan pembunuhan. Media bisa tanpa sadar menjelekkan etnis dan agama lain untuk kemenangan kelompok sendiri.