Senin, 30 September 2013

Ngajak "Ngeteh"


Aktifitas ngeteh atau minum teh, biasanya dilakukan pada pagi hari atau saat sedang santai. Walaupun ada beberapa tulisan yang pernah saya baca mengenai pro kontra tentang manfaat dan atau bahaya kandungan kafein dalam teh akan tetapi aktifitas ini merupakan aktifitas favorit di rumah kami. Namun yang ingin saya ceritakan kali ini adalah kegiatan ngeteh yang lain.

Saya tinggal di lingkungan yang mayoritas warga nya adalah suku betawi. Nah, di kampung betawi ungkapan ngeteh atau ngajak ngeteh bukan semata-mata mampir ke rumah yang ngundang lalu nanti diseduhkan teh beserta camilannya. 

Makna dari ngajak ngeteh, lebih kepada mengajak orang yang dikunjungi untuk datang ke rumah si pengundang karena pihak pengundang akan mempunyai hajat entah itu acara sunatan atau kawinan. 

Biasanya undangan untuk acara sunatan, kawinan, atau mungkin acara ulang tahun, bentuk undangan yang paling formil adalah menggunakan kartu undangan. Akan tetapi kalo di sini yang punya hajat tetap mencetak kartu undangan. Kartu undangan yang sudah dicetak itu akan diantar dan yang membagikan undangan tsb adalah para bapak-bapak sedangkan para ibu-ibu akan keliling kampung mendatangi tiap rumah yang dikenal atau ingin diundang untuk memberitahukan bahwa mereka akan menggelar hajatan dan kemudian akan terjadi dialog seperti dibawah ini:

Ibu yang punya hajat “Mama uci, ntar ngetehnya di rumah hari selasa!”
Mama uci akan bertanya “emang ada acara apaan di rumah?”
Ibu yang punya hajat “ntu sunatan bocah, nanti ke sono ye”
Mama uci “ iye, nanti dateng paling sorean ya abis pulang kerja”
Ibu yang punya hajat “ iye”

Para ibu yang berkeliling itu bisa dari pihak keluarga yang punya hajat atau tetangga yang dimintakan tolong untuk menyampaikan perihal undangan tersebut. Acara kebanyakan digelar di rumah. Waktunya bisa seharian untuk acara sunatan atau paling sedikit dua hari dua malam untuk acara kawinan.
 
Acara kegiatan undang-mengundang itu masih dilakukan sampai dengan saat ini. Namun entah sampai kapan tradisi ini akan sanggup bertahan.


Minggu, 15 September 2013

Budaya Baru kah?


 
Setiap hari kerja tak kurang dari delapan lampu lalu lintas saya lewati. Setiap hari pula saya melihat budaya menerobos atau melanggar lampu merah. Para pengendara sepeda motor itu mungkin saja sedang diburu waktu. Lantas yang menjadi pertanyaan apakah dengan melakukan pelanggaran tsb mereka dapat berhemat waktu? 

Memang harus diakui jumlah pertambahan kendaraan bermotor tidak diikuti dengan pertambahan jumlah ruas jalan, sehingga membuat banyak ruas jalan terutama di hari kerja tampak padat. Butuh perjuangan keras agar bisa melalui tiap ruasnya untuk mencapai tempat beraktifitas (kantor, sekolah, tempat kursus, dll) atau apapun itu.

Para pengendara bermotor hanya akan patuh bila melihat polisi yang sedang bertugas mengatur arus lalu lintas bila polisi tsb sudah tidak keliatan batang hidungnya maka kondisi ruas jalan akan kembali semrawut. Apakah ini suatu budaya baru dalam berkendaraan? tidak peduli akan hak pengguna jalan lain, tidak peduli dengan peraturan, atau bahkan tidak peduli dengan keselamatannya sendiri?

Kondisi sikap tidak peduli ini menambah keragaman budaya negatif yang berlaku jamak di masyarakat. Masih tersisakan sedikit rasa empati terhadap hak dan keselamatan pengguna jalan yang lain? 

Jika mereka berargumen bahwa sebelum melanggar atau menerobos lampu lalu lintas sudah memperhitungkan resiko dan melihat situasi arus kendaraan tidak serta merta pernyataan itu menjadi pembenaran atas perbuatannya!