Selasa, 15 Oktober 2013

Pulau Panggang



Ini merupakan kali kedua aku singgah ke pulau panggang. Mungkin kata singgah kurang tepat dengan kondisi kunjunganku yang kedua ini, bermula dari sekedar iseng akhirnya jadi rencana yang serius untuk mengunjungi seorang kenalan lama yang tinggal di sana. Aku perlu seseorang untuk bisa memberikan stand point yang berbeda untuk menghadapi masalah yang kemungkinan pernah dia hadapi.

Pulau Panggang termasuk dalam salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Walaupun disebut sebagai Kep. Seribu akan tetapi jumlah pulaunya tidak berjumlah seribu hanya ada sekitar 300-an pulau sedangkan pulau yang ditempati penduduk hanya 11 pulau sisanya merupakan taman nasional.

Untuk dapat ke sana tantangan terberat pertama yang harus dihadapi adalah bangun pagi. Yap, karena aku harus nyampe di Muara Angke sebelum  jam 7  kalau tidak akan ketinggalan kapal. Pelabuhan Muara Angke bukan satu-satunya jalur transportasi untuk bisa pergi ke Kep Seribu, kita bisa melalui Pelabuhan Marina Ancol ataupun Pelabuhan Kaliadem. 

Pelabuhan Marina, aku ga pernah ke sana karena ga tau juga letak persis disebelah mananya Ancol serta harga transportasi penyeberangannya cukup mahal, sepadan dengan waktu tempuhnya kalau misalnya naik kapal dari Muara Angke ke Pulau Pramuka perlu waktu 2 jam kalo dari Marina hanya perlu waktu 40 menit - 1 jam sedangkan untuk Pelabuhan Kaliadem, aku juga baru tau kalo ada pelabuhan baru setelah googling. Letak pelabuhan baru tsb katanya ga jauh dari Muara Angke akan tetapi karena ga mau gambling akhirnya aku putuskan untuk tetap naik kapal dari Muara Angke. Jalur penyeberangan kapal ke pulau hanya satu kali dalam sehari akan tetapi kalau musim liburan bisa dua kali dalam sehari.

Setiap weekend banyak orang yang meluangkan waktu untuk berlibur ke pulau seribu entah itu dengan tujuan Pulau Pari, Pulau Harapan, Pulau Kelapa, Pulau Tidung, Pulau Pramuka atau pulau yang lain, berhubung karena tujuanku adalah Pulau Panggang maka aku mencari kapal dengan trayek Muara Angke-Pulau Panggang via Pulau Pramuka atau Muara Angke-Pulau Pramuka. Pulau Pramuka itu dekat dengan Pulau Panggang jadi kalaupun tidak dapat kapal yang langsung ke tujuan aku bisa naik kapal yang ke Pulau Pramuka lalu setibanya di sana nanti tinggal naik ojek kapal. Setelah mencari akhirnya aku masih dapat kapal yang langsung ke Pulau Panggang via Pulau Pramuka.

Kapal-kapal kayu itu bermuatan 100 orang penumpang untuk kapal kecil dan 200 orang penumpang untuk kapal besar ditambah dengan muatan barang yang lain. Dengan ongkos 35 rb dan memakan waktu hampir dua jam akhirnya kapal bersandar di dermaga Pulau Panggang  setelah sebelumnya kapal singgah di Pulau Pramuka untuk menurunkan penumpang yang berwisata di pulau tsb dan juga barang muatan. 


Tahun 2009 adalah kunjunganku yang pertama ke pulau ini tidak banyak yang berubah dari tempat ini baik dermaga, jalan setapak, maupun dengan lapangan bulu tangkis yang letaknya bersebelahan dengan dermaga. Dengan air laut yang masih jernih kita bisa melihat gerombolan ikan kecil mungkin sejenis ikan teri yang berenang-renang jika dilihat dari sisi dermaga. 


Aku sudah mengabarinya tapi dia tak terlihat juga akhirnya kuputuskan menggunakan ingatanku untuk dapat menemukan rumahnya. Setelah 10 menit berjalan dan agak meraba-raba aku berhasil menemukan rumahnya, senang rasanya bisa mengingat jalan-jalan yang pernah aku lewati. Tidak banyak berubah, seingatku rumahnya terletak disamping kelurahan, tetapi ternyata kelurahannya sudah pindah ke gedung baru di sebelah timur pulau dan bekas bangunan kelurahan itu yang dulunya adalah bangunan bekas peninggalan belanda telah diambil alih oleh dinas cagar budaya. 


Pulau ini bukan merupakan pulau untuk tujuan wisata karena disamping padat penduduk, juga terkendala masalah air. Air tanah di sini air asin. Penduduk pulau baru bisa mendapatkan air tawar dengan membelinya atau menanti musim hujan. Untuk bisa mendapatkan air tawar penduduk harus menggali dengan kedalaman 300 meter. Kala musim kemarau seperti sekarang ini penduduk akan menyeberang ke pulau karya untuk sekedar mencuci baju di sana karena air di pulau tsb adalah air tawar. Di pulau ini sudah ada bantuan dari PGN berupa reserve water, alat ini bisa mengubah air asin menjadi air tawar. akan tetapi jangkauannya terbatas, tidak sampai 10 rumah debit airnya sudah berkurang. 

Jika menyukai makanan olahan serba ikan, akan gampang ditemui di pulau ini misalnya pastel isi cacahan ikan yang diberi bumbu pedas, risol dengan isi ikan, bakso ikan yang kuah kaldunya dari ikan tonggol, sate gepuk, ikan panggang tonggol dsb. 

Bagiku tempat ini menyenangkan untuk menyepi tapi tidak untuk tinggal.

see, someday aku akan ajak mama dan ade untuk bisa datang berkunjung ke pulau ini. :)


 



Senin, 30 September 2013

Ngajak "Ngeteh"


Aktifitas ngeteh atau minum teh, biasanya dilakukan pada pagi hari atau saat sedang santai. Walaupun ada beberapa tulisan yang pernah saya baca mengenai pro kontra tentang manfaat dan atau bahaya kandungan kafein dalam teh akan tetapi aktifitas ini merupakan aktifitas favorit di rumah kami. Namun yang ingin saya ceritakan kali ini adalah kegiatan ngeteh yang lain.

Saya tinggal di lingkungan yang mayoritas warga nya adalah suku betawi. Nah, di kampung betawi ungkapan ngeteh atau ngajak ngeteh bukan semata-mata mampir ke rumah yang ngundang lalu nanti diseduhkan teh beserta camilannya. 

Makna dari ngajak ngeteh, lebih kepada mengajak orang yang dikunjungi untuk datang ke rumah si pengundang karena pihak pengundang akan mempunyai hajat entah itu acara sunatan atau kawinan. 

Biasanya undangan untuk acara sunatan, kawinan, atau mungkin acara ulang tahun, bentuk undangan yang paling formil adalah menggunakan kartu undangan. Akan tetapi kalo di sini yang punya hajat tetap mencetak kartu undangan. Kartu undangan yang sudah dicetak itu akan diantar dan yang membagikan undangan tsb adalah para bapak-bapak sedangkan para ibu-ibu akan keliling kampung mendatangi tiap rumah yang dikenal atau ingin diundang untuk memberitahukan bahwa mereka akan menggelar hajatan dan kemudian akan terjadi dialog seperti dibawah ini:

Ibu yang punya hajat “Mama uci, ntar ngetehnya di rumah hari selasa!”
Mama uci akan bertanya “emang ada acara apaan di rumah?”
Ibu yang punya hajat “ntu sunatan bocah, nanti ke sono ye”
Mama uci “ iye, nanti dateng paling sorean ya abis pulang kerja”
Ibu yang punya hajat “ iye”

Para ibu yang berkeliling itu bisa dari pihak keluarga yang punya hajat atau tetangga yang dimintakan tolong untuk menyampaikan perihal undangan tersebut. Acara kebanyakan digelar di rumah. Waktunya bisa seharian untuk acara sunatan atau paling sedikit dua hari dua malam untuk acara kawinan.
 
Acara kegiatan undang-mengundang itu masih dilakukan sampai dengan saat ini. Namun entah sampai kapan tradisi ini akan sanggup bertahan.


Minggu, 15 September 2013

Budaya Baru kah?


 
Setiap hari kerja tak kurang dari delapan lampu lalu lintas saya lewati. Setiap hari pula saya melihat budaya menerobos atau melanggar lampu merah. Para pengendara sepeda motor itu mungkin saja sedang diburu waktu. Lantas yang menjadi pertanyaan apakah dengan melakukan pelanggaran tsb mereka dapat berhemat waktu? 

Memang harus diakui jumlah pertambahan kendaraan bermotor tidak diikuti dengan pertambahan jumlah ruas jalan, sehingga membuat banyak ruas jalan terutama di hari kerja tampak padat. Butuh perjuangan keras agar bisa melalui tiap ruasnya untuk mencapai tempat beraktifitas (kantor, sekolah, tempat kursus, dll) atau apapun itu.

Para pengendara bermotor hanya akan patuh bila melihat polisi yang sedang bertugas mengatur arus lalu lintas bila polisi tsb sudah tidak keliatan batang hidungnya maka kondisi ruas jalan akan kembali semrawut. Apakah ini suatu budaya baru dalam berkendaraan? tidak peduli akan hak pengguna jalan lain, tidak peduli dengan peraturan, atau bahkan tidak peduli dengan keselamatannya sendiri?

Kondisi sikap tidak peduli ini menambah keragaman budaya negatif yang berlaku jamak di masyarakat. Masih tersisakan sedikit rasa empati terhadap hak dan keselamatan pengguna jalan yang lain? 

Jika mereka berargumen bahwa sebelum melanggar atau menerobos lampu lalu lintas sudah memperhitungkan resiko dan melihat situasi arus kendaraan tidak serta merta pernyataan itu menjadi pembenaran atas perbuatannya!